[ Teras ] by DHE
Dulu terasku hanya berjarak lima ubin. Dilengkapi dua kursi dan satu meja, membuatnya cukup sesak. Tidak nyaman bersantai di sana dikala hujan, dijamin terimbas tempias bulir air yang jatuh dari tepian atap.
Tapi, ada satu masa dimana ibuku senang sekali mengubah-ubah bentuk rumah, mereposisi ruangan, memindah letak. Alias renovasi kecil-kecilan. Wastafel dapur sudah tiga kali kena getahnya. Jendela terus bergerilya mengikuti arah sinar matahari. Ayunan yang dulu kucat bersama ayah mungkin sudah lelah dipindah berulang.
Dan teras akhirnya juga menjadi sasaran.
But, aku bahagia saja. Karena itu justru membuat teras menjadi tempat favoritku bila aku berdiam di rumah. Karena teras menjelma lebih luas dan sejuk.
Pagi-pagi sekali, saat fajar masih menyingsingkan mentari.
Bada shalat subuh, al matsurat, tilawah dan sedikit beres-beres rumah, tugas pertamaku adalah menyiapkan sarapan sekeluarga. Apa saja yang ada. Namun, wajibun-nya adalah sepoci teh hangat beraroma melati.
Kubawa secangkir menuju teras. Sembari menunggu koran pagi, aku senang sekali mengamati halaman yang mengitari teras, buah terampil kedua orangtuaku. Rumpun Zoysia matrolla membentang rata, walau kadang masih ada sedikit sisa-sisa Paniculum maximum menyembul disana sini. Setangkai Polyanthes tuberosa dengan harumnya yang khas menyelip di tengah perdu Cycas rumphii. Sebatang pohon Nussaenda philippica yang sudah mulai jarang ditanam orang selalu membawaku terbang mengingat akan masa kecilku dulu.
Namun, kebanggaan ibuku adalah segerumbulan Orchidaceae yang berbaris rapi di tepi pagar rendah yang mengelilingi rumah ataupun tersebar dalam pot-pot kecil yang menggelayut di ujung atap. Sekarang, mereka sedang berlomba-lomba menunjukkan mahkotanya!
(mmm...ternyata masih ada juga sisa2 kuliah Morsistum di kepalaku)
Sesekali aku menyapa tetangga depan rumah yang sedang menyapu terasnya, atau mereka yang sedang lalu lalang berangkat sekolah, kuliah ataupun pergi ke kantor. Wajah-wajah yang masih segar belum terbalut polusi udara otomotif ataupun qadhaya di tempatnya masing-masing.
Oya, aku juga harus memberi makan dua ayam kate dari kakak iparku. Sepasang ayam kate, jantan dan betina. Lulu dan Tobi namanya (kok kayak nama artis ya). Iparku bilang, nama itu dari kartun sih. Lulu dengan jambul putihnya dan Tobi dengan jengger merahnya yang gagah. Keduanya mempunyai bulu putih nan bersih.
Membaca koran sembari menghirup teh hangat ditingkahi semilir angin pagi. Waah...nikmatnya! Apalagi kalau ada pisang goreng fresh from the oven, udah deh . Benar-benar teras mengukuhkan posisinya menjadi tempat favoritku.
DAN,
Sekarang teras makin lekat di hatiku. Karena aku tak punya loteng, jadilah aku juga suka duduk di teras berkelam malam. Ditemani lampu kuning 25 watt yang kadang dikelilingi laron yang sering menggugurkan sayapnya.
Memandang rembulan setengah sabit. Kadang tersembunyi di balik awan. Atau bahkan muncul sempurna dalam purnama. Luar biasa indahnya...
Sembari melantunkan Rabithah, kubayangkan wajah kalian satu persatu.
Potret demi potret berkelebat.
Rabbi...
Lirih kuberbisik, 'uhibbuki'
Ah, biarlah panjang dan terjalnya jalan dakwah ini yang membuktikan ukhuwah kita.
Jalan masih panjang!
Ujian masih deras menghadang!
Dan musuh-musuh Allah masih terus membuat makar!
Keep on fighting Sist!
Jangan mati sebelum waktunya.
Jangan pernah diam selagi jantung ini masih berdetak...
-dhe-
it's funny how the moon can be mediator between us..
EPILOG
Kuyakin rembulan yang sama sedang memusatkan purnamanya;
Pada Singa-singa Afghan dengan abaya panjang terburai memanggul Kalshanikov di Land of Jihad.
Badai salju yang menerjang Harimau Chenchen berselimut kain tipis membalut tulang.
Bocah-bocah Bosnia yang senantiasa istiqomah menghafalkan Al Quran di tengah desingan peluru.
Mujahid Palestina yang meradang tegar di hadapan agresor Yahudi, mengepalkan tangan, melemparkan intifadhoh melesat menembus batas.
Ibu-ibu Palestina yang dengan bahagianya mempersembahkan bom syahid bagi mutiara-mutiara qurata a'yun belahan jiwanya.
.....
...
Indahnya hidup mereka.
Bersenyawa di bawah kilatan pedang.
Simbiosis mutualisme dalam peluh, debu dan darah.
Berjuang dalam sunyi, bergulat tempur dalam diam.
Meninggalkan sekelumit lisan,
“Allah...Allah..."
'Mengenaskan' tampilan zhahir mereka di dunia. Namun, kelak mereka akan mendapatkan balasan setimpal di jannah-Nya yang mulia.
Amiin Ya Rabbal Alamin..
Syaikhun qa'iid aiqadzal ummah wanaalasy syahaadah,
famataa yataharrak shahiihul badan qa'iidul himmah ???
(Orang tua renta yang lumpuh itu telah membangkitkan tidur
panjang umat dan kini ia pun meraih syahadah,
lalu kapan orang2 yg badannya segar bugar
tapi semangatnya lumpuh itu akan bergerak ???)
-in memoriam asy-syahid Syaikh Ahmad Yasin-
Tapi, ada satu masa dimana ibuku senang sekali mengubah-ubah bentuk rumah, mereposisi ruangan, memindah letak. Alias renovasi kecil-kecilan. Wastafel dapur sudah tiga kali kena getahnya. Jendela terus bergerilya mengikuti arah sinar matahari. Ayunan yang dulu kucat bersama ayah mungkin sudah lelah dipindah berulang.
Dan teras akhirnya juga menjadi sasaran.
But, aku bahagia saja. Karena itu justru membuat teras menjadi tempat favoritku bila aku berdiam di rumah. Karena teras menjelma lebih luas dan sejuk.
Pagi-pagi sekali, saat fajar masih menyingsingkan mentari.
Bada shalat subuh, al matsurat, tilawah dan sedikit beres-beres rumah, tugas pertamaku adalah menyiapkan sarapan sekeluarga. Apa saja yang ada. Namun, wajibun-nya adalah sepoci teh hangat beraroma melati.
Kubawa secangkir menuju teras. Sembari menunggu koran pagi, aku senang sekali mengamati halaman yang mengitari teras, buah terampil kedua orangtuaku. Rumpun Zoysia matrolla membentang rata, walau kadang masih ada sedikit sisa-sisa Paniculum maximum menyembul disana sini. Setangkai Polyanthes tuberosa dengan harumnya yang khas menyelip di tengah perdu Cycas rumphii. Sebatang pohon Nussaenda philippica yang sudah mulai jarang ditanam orang selalu membawaku terbang mengingat akan masa kecilku dulu.
Namun, kebanggaan ibuku adalah segerumbulan Orchidaceae yang berbaris rapi di tepi pagar rendah yang mengelilingi rumah ataupun tersebar dalam pot-pot kecil yang menggelayut di ujung atap. Sekarang, mereka sedang berlomba-lomba menunjukkan mahkotanya!
(mmm...ternyata masih ada juga sisa2 kuliah Morsistum di kepalaku)
Sesekali aku menyapa tetangga depan rumah yang sedang menyapu terasnya, atau mereka yang sedang lalu lalang berangkat sekolah, kuliah ataupun pergi ke kantor. Wajah-wajah yang masih segar belum terbalut polusi udara otomotif ataupun qadhaya di tempatnya masing-masing.
Oya, aku juga harus memberi makan dua ayam kate dari kakak iparku. Sepasang ayam kate, jantan dan betina. Lulu dan Tobi namanya (kok kayak nama artis ya). Iparku bilang, nama itu dari kartun sih. Lulu dengan jambul putihnya dan Tobi dengan jengger merahnya yang gagah. Keduanya mempunyai bulu putih nan bersih.
Membaca koran sembari menghirup teh hangat ditingkahi semilir angin pagi. Waah...nikmatnya! Apalagi kalau ada pisang goreng fresh from the oven, udah deh . Benar-benar teras mengukuhkan posisinya menjadi tempat favoritku.
DAN,
Sekarang teras makin lekat di hatiku. Karena aku tak punya loteng, jadilah aku juga suka duduk di teras berkelam malam. Ditemani lampu kuning 25 watt yang kadang dikelilingi laron yang sering menggugurkan sayapnya.
Memandang rembulan setengah sabit. Kadang tersembunyi di balik awan. Atau bahkan muncul sempurna dalam purnama. Luar biasa indahnya...
Sembari melantunkan Rabithah, kubayangkan wajah kalian satu persatu.
Potret demi potret berkelebat.
Rabbi...
Lirih kuberbisik, 'uhibbuki'
Ah, biarlah panjang dan terjalnya jalan dakwah ini yang membuktikan ukhuwah kita.
Jalan masih panjang!
Ujian masih deras menghadang!
Dan musuh-musuh Allah masih terus membuat makar!
Keep on fighting Sist!
Jangan mati sebelum waktunya.
Jangan pernah diam selagi jantung ini masih berdetak...
-dhe-
it's funny how the moon can be mediator between us..
EPILOG
Kuyakin rembulan yang sama sedang memusatkan purnamanya;
Pada Singa-singa Afghan dengan abaya panjang terburai memanggul Kalshanikov di Land of Jihad.
Badai salju yang menerjang Harimau Chenchen berselimut kain tipis membalut tulang.
Bocah-bocah Bosnia yang senantiasa istiqomah menghafalkan Al Quran di tengah desingan peluru.
Mujahid Palestina yang meradang tegar di hadapan agresor Yahudi, mengepalkan tangan, melemparkan intifadhoh melesat menembus batas.
Ibu-ibu Palestina yang dengan bahagianya mempersembahkan bom syahid bagi mutiara-mutiara qurata a'yun belahan jiwanya.
.....
...
Indahnya hidup mereka.
Bersenyawa di bawah kilatan pedang.
Simbiosis mutualisme dalam peluh, debu dan darah.
Berjuang dalam sunyi, bergulat tempur dalam diam.
Meninggalkan sekelumit lisan,
“Allah...Allah..."
'Mengenaskan' tampilan zhahir mereka di dunia. Namun, kelak mereka akan mendapatkan balasan setimpal di jannah-Nya yang mulia.
Amiin Ya Rabbal Alamin..
Syaikhun qa'iid aiqadzal ummah wanaalasy syahaadah,
famataa yataharrak shahiihul badan qa'iidul himmah ???
(Orang tua renta yang lumpuh itu telah membangkitkan tidur
panjang umat dan kini ia pun meraih syahadah,
lalu kapan orang2 yg badannya segar bugar
tapi semangatnya lumpuh itu akan bergerak ???)
-in memoriam asy-syahid Syaikh Ahmad Yasin-
<< Home